Rabu, November 10, 2010

Menjejaki Komunitas Suku Seasea diDataran Tinggi Pulau Peling




Identitas Seasea, Legenda dan Kearifan Lokal
Berawal dari ide membuat film documenter tentang komunitas pedalaman, saya berinisiatif untuk melakukan riset tentang kehidupan Suku Seasea di dataran tinggi pulau Peling, Sulawesi Tengah.Rasa keingintahuan saya terhadap Suku Seasea bermula pada performa pertunjukan seni budaya dari kabupaten Banggai Kepulauan.Di saat itu, saya diselimuti aroma magis yang kuat menyaksikan tarian dan nyanyian tradisi mereka.Firasatku, ada hal lain yang tersembunyi dan akan mencengangkan bila langsung berada di Seasea sesungguhnya.

Ditemani oleh dua orang aktivis LSM lokal di Salakan, Mas Huda dan rekannya.Kami memulakan perjalanan dari Salakan, Ibukota Banggai kepulauan.Perjalanan menyisiri sisi timur pulau menuju sisi barat. Karena pertimbangan ingin menjejali sebagian besar landscape Pulau Peling, kami bersepakat untuk melintasi dua jalur. Jalur berangkat, kami memilih melewati Bulagi dan ketika pulang nantinya akan melewati jalur yang berbeda yaitu Buko, Lumpia Lumpia sampai di Seasa untuk kembali ke Salakan.

Pilihan jalur ini ternyata memakan waktu cukup lama. Selepas poros dari Batukuki dan Bulagi, kondisi jalan yang mulus terganti dengan kondisi jalan yang berlongsor dan berlubang.Tentu saja, kondisi ini membutuhkan konsentrasi penuh dalam memainkan setir, kopling dan gas.Lengah sedikit, fatal akibatnya.Jurang yang dalam di sisi kiri jalan terjal mengerikan.Belum lagi, sepanjang perjalanan hujan turun begitu deras.Di daerah pegunungan yang kami lalaui juga terhalang jarak pandang yang aman akibat kabut tebal.

Karena kondisi medan sedemikian berat, memaksa kami tidak dapat meneruskan perjalanan sampai ke Buko hari itu juga. Akhirnya kamipun bersepakat untuk menginap di salah satu desa di mana kerabat Mas Huda tinggal.Nama desanya unik, membuat saya sulit mengingatnya. Patokan saya untuk mengingat posisi desa ini adalah jarak tempuh dari desa itu ke Buko. Hanya butuh waktu tempuh kurang dari tiga jam.

Dari jalan poros Buko, sebuah persimpangan jalan kami temui. Dari sini kemudian medan jalan mulai menanjak mengitari sisi pegunungan. Kami sempat beristirahat di salah satu titik, kira kira di atas 1000 mdpl.Dari tempat itu, leluasa dapat menikmati keindahan landscape laut sekitar pulau Peling.Nampak jelas hutan mangrove dan pulau pulau kecil dan besar yang menyebar dan terpisah.Bagi kami itu adalah hiburan kecil untuk melawan hawa dingin selama perjalanan.

Target kami, di hari kedua adalah tiba di desa Osan.Secara administrative, desa Osan masuk di wilayah kecamatan Bulagi Selatan.Mencapai desa ini juga membutuhkan tenaga ekstra karena hanya dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua.Parahnya, jalan menuju Osanadalah jalan setapak.Itupun harus dilanjutkan dengan berjalan kaki bila ingin bertemu langsung dengan komunitas Seasea yang masih hidup dan berdiam di dalam hutan.

Mengikuti rencana awal perjalanan kami semasih di Salakan.Di desa Osan kami berusaha menemui Kepala Desa, niatannya untuk meminta izin masuk ke pedalaman Seasea dan meminta bantuan warga kiranya ada yang bersedia mengantar kami masuk ke pedalaman Seasea.Diam diam kami masih ragu untuk masuk tanpa penunjuk jalan.Selain mengurangi resiko kesasar selama di hutan, kami juga banyak mendapat saran dari beberapa orang yang kami temui selama perjalanan.Saran mereka umumnya menganjurkan untuk mencari orang di Osan agar aman masuk di wilayah pedalaman Seasea.

Saran saran itu memang cukup beralasan.Menurut kalangan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir pulau Peling, mereka suku Seasea ini sangat proctetive dengan orang asing.Penduduk di pesisir menjuluki mereka sebagai “pau kinolot” yang berarti orang yang sering menyembelih orang.Selain itu, bahasa mereka masih asli dan belum banyak dari mereka yang paham bahasa Indonesia.Alhasil, atas bantuan Sekdes Osan seorang warga yang kerap keluar masuk pedalaman Seasea menyatakan kesediaannya menemani kami selama melakukan riset di komunitas Seasea.Beliau, Mikus M. Tokoh masyarakat di desa ini.

Kami juga mendapatkan banyak informasi tentang suku Seasea dari Mikus.Menurutnya, ada tiga kelompok suku Seasea yang masih tinggal di hutan.Kelompok kelompok ini bermukin di suatu wilayah hutan yang disebut Lipu. Tiga kelompok ini berdasarkan pembagiannya meliputi Lipu Tetek, Lipu Bubasak dan Libu Tuboan. Lipu yang paling jauh dari desa Osan adalah Lipu Bubasak.Di mana komunitas di Lipu yang paling jauh ini masih berburu dan masih banyak mengenakan kulit kayu sebagai pakaian sehari hari.

Istilah Lipu merupakan unit paling kecil setingkat desa sekarang.Lipu sendiri merupakan peristilahan dari warisan Pemerintahan Kerajaan Banggai dahulu.Masing masing Lipu dipimpin oleh perangkat adat yang digelar tonggol.Tonggol diakui sebagai pemimpin dalam struktur masyarakat dan diakui sampai sekarang oleh komunitasnya. Sebagai bagian penting kerajaan Banggai, Tonggol juga merupakan bagian dari perangkat kerajaan di tingkat paling bawah. Kepala suku.Begitulah kira kira terjemahannya secara sederhana.

Penjelasan Mikus tentang Lipu dan Tonggol makin memompa semangat dan rasa penasaran kami tentang Seasea.Kami akhirnya bersepakat untuk menginap di Lipu terdekat dari desa Osan untuk menemui tetua adat yang di gelar Tonggol itu. Perjalanan ke Lipu Bubasak dan Lipu Tuboan kami rencanakan akandilanjutkan setelah itu di hari selanjutnya. Selama perjalanan ke Lipu Tetek, kami mulai membayang bayangkan bagaimana sulitnya untuk menjangkau dua Lipu Bubasak dan Lipu Tubuan.Lipu yang paling dekat dari desa Osan saja sungguh menguras tenaga kami.Medan yang kami tempuh hanya berupa jalan setapak, mendaki dan licin.Vegetasi hutan didomanisasi tumbuhan pakis, tumbuhan perdu dan ilalang.

“Sedikit lagi kita sampai, kita sudah memasuki Lipu Tetek.Ini sudah memasuki kebunnya orang orang di Lipu Tetek di atas”, tunjuk Mikus.Kebun yang dimaksud olehnya adalah hamparan lahan yang didominasi jenis umbi umbian dan talas.Hanya dua tiga pohon pisang dan kelapa yang ditumbuh di lahan yang dimadsud Mikus.

Seratusan meter dari lokasi kebun, jalan yang kami susuri mulai mendatar. Kami yakin bidang datar ini merupakan punggungan gunung yang berkontur landai antara dua bukit kecil di sisi timur dan tenggara.Terdapat tiga pondok yang terbuat dari kayu glondongan sebesar betis orang dewasa dan beratap daun nipah. Tanpa ditanya, Mikus menjelaskan bahwa pondok yang paling besar ukurannya di antara pondok yang lain adalah rumah milik Tonggol Seasea. “Pondok penduduknya lainnya ada di balik bukit yang di sana,”, terangnya.

Kami akhirnya tiba di Lipu Tetek.Lenggang.Itu suasana yang kami rasakan pertama kali di Lipu Tetek.Tak ada hiruk pikuk orang bercengkarama di dalam pondok yang kami tuju.Hanya gongongan anjing dari dalam pondok yang menyambut kami.Sayup kami dengar dari kejauhan suara suling.Irama sulingnya asing ditelinga, Khas music tradisional.Ritmenya datar dan sesekali menukik tajam.

“Tak ada orang di dalam, mungkin masih di kebun” terang Mikus.Kamipun memutuskan menunggu di pekarangan depan. Sambil menunggutuan rumah, kami mencoba mengambil gambar dan merekam suasana sekitarnya. Umumnya kondisi pemukiman di Lipu Tetekmemiliki jenistopograpi berbukit.Tanahnya mempunyai kandungan kapur yang sangat tinggi.Tidak ada sungai dan mata air yang kami jumpai di Lipu Tetek.Bisa dipastikan, komunitasnya sangat kesulitan dalam pemenuhan air bersih.

Dijelaskan oleh Mikus, komunitas setempat bergantung pada curah hujan untuk kebutuhan air dan berladang.Tak jarang dijumpai di wilayah dataran tinggi seperti Seasea, pepohonan berdiameter besar dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk mendapatkan air.

Unik dan tradisional.Caranya, mereka mengikat dedaunan di batang pohon besar.Hasilnya, tetesan air hujan dan embun pada pagi hari yang menetes di batangdan sedikit demi sedikit tertampung dalam wadah yang disiapkan. Wadah yang dipakai umumnya merupakan tong yang terbuat dari tempikar tanah. Orang Seaseamenyebutnya “gumbang.Asli buatan Seasea katanya.

Namun pada saat musim kemarau berlangsung dan persedian mulai menipis, warga kemudian menempuh cara lain untuk mendapatkan air bersih. Cara yang dilakukan adalah dengan menebang jenis pohon Meranti dan pohon Bambu.Dari dua jenis pohon ini, masyarakat dapat mengakses air walaupun dalam ukuran yang relative kecil dan tak cukup untuk kebutuhan mandi dan mencuci.

Penjelasan Mikus kepada kami sore itu,sangat membantu kami untuk mendapatkan gambaran kehidupan keseharian komunitas Seasea.Beruntung pula, ketika tetua Tonggol sudah datang sore itu dan mengajak kami untuk menginap di pondok miliknya.Dengan demikian, malam hari kami dengan leluasa dapat berbicang bincang dengan beliau tentang Seasea secara lengkap.Rasa letih selama perjalanan terbayarkan, akhirnya.

Di pondok beliau, kami juga berkenalan dengan anak dan cucu tetua Tonggol.Beberapa orang tetangga juga datang untuk berkenalan dengan kami dan mengobrol.Umumnya mereka memiliki tipe kulit berwarna gelap dan berambut keriting.Uniknya, tua muda, laki laki dan perempuan semuanya merokok.Jenis rokok yang mereka isap adalah jenis tembakau lokal yang dilinting dengan daun pisang yang kering.Rasanya cukup keras.

Perbicangan kami dengan mereka dibantu oleh Mikus sebagai penerjemah.Suasana antara kami kemudian dengan cepat menjadi cair, beberapa orang dari keluarga Tonggolbergurau dengan kami.Tetua Tonggol bahkan sesekali melucu.Ternyata, umumnya orang orang di Seasea ramah dan bersahabat.Detik itu juga, kami lega.Istilah “pau kinolot” ternyata tidak terbukti.

Dijelaskan bahwa dahulu wilayah seasea merupakan wilayah yang banyak didiami.Warga setempat meyakini bahwa di wilayah Lipu Tetek merupakan kampung tertua suku Seasea. Namun karena telah terjadi migrasi besar besaran dari kampung tua ke wilayah lain.Membuat pemukiman Seasea sekarang menjadi sepi penduduk.Umumnya mereka banyak yang bermigrasi ke wilayah dataran rendah sampai ke pesisir pulau Peling bagian Barat.

Kuat dugaan, migrasi besar besaran suku Seasea ke wilayah lain karena pertimbangan ekonomis. Di mana kondisi tanah yang umumnya berkapur dan tak ada sumber air yang menyebabkan warga sulit bertahan.Adapun warga yang masih tetap bertahan lebih memilih membudidayakan tanaman yang dapat tumbuh di daerah kering. Hal itu dapat terlihat di kebun kebun orang Seasea, umumnya mereka menanami ladang mereka dengan jenis tanaman talas (dioscorea alata.sp).

Talas merupakan makanan pokok komunitas Seasea.Ada legenda yang diceritakan bahwa talas juga merupakan tanaman roh roh.Menurut mitos yang mereka pahami, jenis tanaman talas diciptakan bersamaan dengan manusia pertama di Seasea.Kemudian oleh para leluhur mereka, talas ini dipindahkan ke ladang dan menjadi tanaman pokok orang Seasea.Oleh karenanya, bagi komunitas Seasea, talas merupakan tanaman yang disakralkan.

Selain itu, kami juga mendengarkan penjelasan dari Tetua Tonggol tentang legenda orang pertama Seasea.Disebutkan olehnya bahwa orang pertama yang ada di Seasea bernama Boloki Seasea.Menurut kepercayaan komunitas Seasea, Boloki Seasea adalah seorang perempuan yang bisa menjelma menjadi kucing. Sehingga ia diberi gelar Tomundo Sasa, Tomundo artinya Raja dan Sasa artinya kucing. Boloki Seasea ini kemudian mempunyai tiga orang anak . Dia inilah kemudian menjadi cikal bakal penerus generasi Seasea, sehingga orang orang di Seasea biasa juga dikenal dengan sebutan Pau Seasea yang berarti keturunan Seasea.

Legenda lain adalah Boloki Seasea tidak mempunyai kuburan di Seasea. Ini terjadi karena Boloki Seasea suatu ketika menghilang di salah satu puncak gunung di wilayah utara tanah adat Seasea. Itulah kemudian orang Seasea meyakini kuburannya tidak dapat dijumpai di wilayah Seasea.“Boloki Seasea itu tidak meninggal seperti manusia biasa, tapi dia itu menghilang”, cerita Tonggol kepada kami.

Berkaitan dengan legenda Boloki Seasea ini, kami mencoba membandingkan penuturan Hukum Tua Lembaga Masyarakat Adat Kerajaan Banggai, H Yusuf Basan di Salakan.Dari beliau, dijelaskan bahwa pada di awal masehi salah ada salah satu raja dari delapan raja Kerajaan Banggai pada masa itu bernama Tomundo Sasa atau dijuluki Mbumbu Patola.Mbumbu artinya Raja dan Patola adalah kucing.Artinya, legenda tentang Boloki Seasea memiliki kemiripan sejarah yang ada di Kerajaan Banggai dahulu.

Hal laintentang suku Seasea, H Yusuf Basan memberikan penjelasanbahwa bila dilogikakan tentang kata Seasea adalah uraian kata Sasa, yang memiliki arti dari kata kucing. Kata Sasa ini kemudian menurut analisa beliau besar kemungkinan mengalami perubahan dialek di wilayah pesisir.Dari kata Sasa menjadi Seaseasekarang.

Perbincangan kami di pondok tentang pola tradisional bercocok tanam sampai tentang legenda Seasea berlanjut dari makan malam dengan talas rebus hingga larut malam.Semakin larut, cuaca di dalam pondok semakin dingin menusuk tulang. Banyak kali kami harus keluar untuk membuang air karena dikalahkan hawa dingin. Untunglah, tungku api yang berada di sisi kanan dalam pondok membantu kami.Pagi harinya, Tonggol menertawakan kami.katanya, kami tidur semalaman seperti kucing basah. Berguling ke sana kemari karena dingin yang begitu tajam.


Pengetahuan Lokal dan Tata Kelola Lahan Komunitas Seasea
Pagi di hari ketiga.Ditemani oleh salah seorang cucu dari Tetua Tonggol kami melanjutkan riset di sekitar Lipu Tetek.Kami menemukan pola penataan pemukiman orang Seasea yang cukup menarik perhatian.Di wilayah pegunungan Seasea, tata guna lahan memiliki pengaturan yang khas.Pondok pondok atau rumah tinggal mereka terletak secara terpisah.Nampaknya diatur dengan pola yang sama. Bisa saja ini bagian dari kearifan lokal dalam melakukan penataan dan pengunaan lahan suku Seasea.

Secara kasat, dapat dikatakan bahwa satu topografi yang berupa gunung terletak satu rumah. Dengan kata lain, satu gunung satu rumah. Di mana satu rumah atau pondok ini didiami oleh satu keluarga.Bila salah satu anggota keluarga sudah dewasa dan menikah, maka ia akan membuat pondok atau rumah yang berpisah dengan orang tuanya. Untuk masing masing keluarga memiliki rata rata lebih dari satu bidang tanah untuk dijadikan ladang.

Ladang diolah secara bergiliran sesuai aturan lokal sepanjang tahun.Kami menemukan pembuktian bahwa ternyata anggapan banyak kalangan bahwa masyarakat yang ada di wilayah pedalaman, khususnya di dataran tinggi seperti suku Seasea ternyata bukan peladang berpindah.Justru sebaliknya, ternyata mereka memiliki pola tata guna lahan yang diolah secara bergiliran dan diatur secara arif.

Pola itu dapat dilihat dengan cara mereka memperlakukan lahan milik mereka. Di mana satu keluarga mengelola dua atau tiga lahan secara terpisah.Di mana mereka hanya mengolah satu lahan saja sepanjang musim tanam.Lahan yang satunya lagi dibiarkan bero.

Dengan di biarkan satu dari dua atau tiga lahan untuk tidak di olah atau dibiarkan bero memberikan kesempatan lahan bero melakukan pemulihan unsur hara tanah secara alami.Sumber hara berasal dari tumbuhan liar dan ilalang yang ada di ladang yang diistirahatkan.Waktu yang dibutuhkan umumnya satu periode musim tanam.Di periode tanam berikutnya, barulah lahan bero di olah kembali.Cara ini dilakukan secara bergiliran.Sehingga dengan mudah kita bisa menyimpulkan bahwa perlakuan bero dan di olahnya lahan berlangsung secara bergiliran untuk memberikan kesempatan lahan ladang melakukan pemulihan unsur hara secara alami.

Dari ladang yang mereka olah, umumnya diperuntukkan untuk kebutuhan pangan sehari hari.Hanya sebagaian saja yang di jual ke pasar.Itupun hanya di jual di pasar tradisional di desa Osan.Pasar ini juga hanya digelar sekali seminggu.

Di pasar tradisional ini, mereka masih mengunakan system barter.Umunya hasil panen warga ditukar dengan kebutuhan sehari hari seperti garam, ikan asin, minyak tanah untuk kebutuhan penerangan, dan beberapa dari mereka menukar hasil panen dengan pakaian bekas.

Walaupun kurang melakukan interaksi dengan dunia luar dan terisolasi dari segi jarak, Suku Seasea nampaknya pernah memiliki puncak beradaban di masa masa yang lalu.Ini dapat dibuktikan dengan adanya ilmu pengetahuan mereka yang mengenal seni membakar tembikar, menempa besi dan menuang tembaga yang diajarkan secara turun temurun. Sisa peradaban ini dapat dilihat dengan masih dijumpainya beberapa jenis gong dari tembaga, tombak, dan sebahagian penduduknya memiliki keahlian membuat parang tradisional khas Seasea.

Umumnya, mereka juga mahir memainkan alat musik tradisional, gendang, gong, suling bambu.Kami sempat disuguhkan pertunjukan seni tradisi.Diringi alat music tradisi, penarinya mengelilingi tiang rumah dengan panas terhunus berkelebat kelebat.Sangat memukau dan terasa daya magisnya.Tarian Cakalele, begitu mereka menamai tarian ini.


Lingustik Seasea, Dialek dan Bahasa Yang Khas
Selama berdiam di Seasea.Dialek dan bahasa Seasea turut menjadi perhatian kami.Selain khas dalam dialek, juga sepertinya beberapa kosa kata yang digunakan sulit dipahami.Contohkan saja seperti Mikus, penerjemah kami yang turut dalam riset kami. Terkadang kami amati, ia perlu mengulang beberapa kali untuk mendengarkan atau memberikan informasi ke pada komunitas Seasea di sana.

“ada beberapa bahasa yang sulit saya pahami orang sini, mereka di sini masih pakai bahasa asli Seasea, sedangkan kami yang di bawah sudah tercampur dengan bahasa lain”, terang Mikus.

Bahasa orang Seasea, tambah Mikus, oleh masyarakat yang bermukim di desa Osan mengakui ada beberapa kosa kata yang dimiliki oleh saudara mereka yang ada di gunung justru tidak dimengerti.Terutama mereka yang berdiam di wilayah lipu Tubuan yang tinggal lebih jauh lagi dalam hutan.Artinya, bahasa asli memang masih terpelihara.

Menyoal tentang kekhasan Seasea dalam berbahasa.Mari kita coba mencermati tentang bahasa bahasa yang ada di Banggai dan Banggai Kepulauan.Adapun bahasa orang Seasea merupakan salah satu bahasa Banggai yang mempunyai konstruksi genitive bertiga ganda. Salah satu contoh kata aki yang berarti tidak yang berbeda dengan bahasa Balantak yang mengatakan sian dan Saluan menyebut madi untuk kata yang bermakna sama. Para pengucap aki di masyarakat Banggai juga terbagi dalam dua bagian.Satu bagian di wilayah Timur dan satu kelompok komunitas di wilayah Barat.

Di Pulau Peling, semakin mengarah ke wilayah barat, nampaknya memiliki perbedaan dialektis dari pengunaan kata di banding dengan para penguna kata aki di wilayah timur. Di mana komunitas di wilayah barat, khususnya di Seasea menghilangkan huruf huruf K dan G di tengah kata dengan mengantinya dengan hamzah.Sehingga kata aki menjadi a’i. Dialek Seasea yang khas lainnya adalah di setiap kata yang mengandung huruf R dan diganti dengan huruf L. Sehingga, dalam berbahasa Seasea terdengar cadel.

Ada kemungkinan, perbedaan dialek ini terjadi karena kedua kelompok komunitas ini terpisah dari sisi wilayah dan aksebilitas.Satu kelompok berdiam di desa dan satu kelompok masih berdiam di hutan.Kelompok komunitas yang ada di desa Osan memiliki akses untuk berhubungan dengan dunia luar sehingga memiliki system transformasi bahasa dan social budaya yang cepat berubah.

Sedang komunitas yang masih tinggal di hutan masih terisolasi.Keterisolasian ini kemudian menciptakan sisi positif di mana bahasa asli orang Seasea yang bermukim di hutan tidak mudah dipengaruhi oleh bahasa dan dialek lain. Terutama pengaruh bahasa Indonesia yang umumnya menjadi bahasa sehari hari mayoritas masyarakat yang ada di Pulau Peling.

Terkait soal itu, Komunitas Seasea dalam meneruskan sejarah dan budayanya, termasuk dalam melestarikan bahasa lokal hanya bergantung pada budaya tutur. Komunitas Seasea tidak mengenal proses pendokumentasian dalam bentuk tulis, hanya lisan dari generasi ke generasi. Di komunitas lain di Indonesia, semisal Kertagama di Jawa dan Lagaligo dan aksara Lontara milik Bugis Makassar, terbukti mampu melestarikan budaya dan bahasa setempat sampai saat ini.Adapun Seasea hanya mengenal pendokumentasian bahasa asli hanya dengan teks berupa tuturan, nyanyian, tanda dan symbol.