Selasa, Juni 16, 2009

Bencana, Dunia Pendidikan dan Rasa Aman


Periode belakangan ini, pengurangan resiko bencana telah menjadi issu yang mengelinding dan penting oleh berbagai pihak. Pemerintah, ormas dan partai politik, LSM/ Ornop dan Organisasi Masyarakat Sipil mengusung issu ini dalam strategi dan implementasi program. Boleh dikata, masalah pengurangan resiko bencana dimulai sejak diluncurkannya buku Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN PRB) pada 24 Januari 2007 oleh Bappenas dan Bakornas Penanggulangan Bencana.

Dokumen RAN PRB sebagai respon pemerintah Indonesia terhadap upaya pengurangan risiko bencana seperti dalam mandat Hyogo Framework for Action yang kemudian ditetapkannya UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Selanjutnya bermunculan peraturan peraturan lain sebagai turunannya serta terbentuknya sebuah Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Sesuai mandat Undang Undang 24/2007, Penanggulangan risiko bencana harus diintegrasikan ke dalam proses pembangunan, salah satu dari proses pengurangan resiko bencana juga diupayakan terintegrasi kedalam sektor pendidikan. Lewat dunia pendidikan ini, diharapkan masalah bencana dan pengurangan risikonya sedapat mungkin dikenalkan kepada anak anak sejak dini dan menciptakan rasa aman di tingkat sekolah.

Untuk komponen pengurangan risiko bencana di dunia pendidikan Sulawesi Tengah terutama tingkat Sekolah Dasar. Di wilayah kabupaten Donggala telah mulai dijalankan sejak Februari 2009 oleh yayasan Jambata bekerjasama dengan Oxfam GB dan European Commision Humanitarian Aid Office (ECHO). Pengintegrasian program pengurangan risko bencana ke dalam dunia pendidikan ditandai sejak berlangsungnya workshop pengurangan risko bencana berbasis sekolah di April 2009.

Workshop melibatkan guru guru dan kepala sekolah dari 14 sekolah yang dianggap berada di daerah rawan bencana. Berlangsung selama tiga hari, workshop ini juga telah melahirkan rekomendasi bersama tentang strategi dan implementasi pengurangan risiko bencana berbasis sekolah. Dalam proses kedepannya prinsip partisipasi seluruh komponen warga sekolah menjadi rekomendasi inti dari peserta.


Issu Utama Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Sekolah
Terungkap dalam perumusan kondisi Sekolah Dasar di kabupaten Donggala. Kapasitas warga sekolah di tingkat guru, siswa, dan komite sekolah tentang pengurangan resiko bencana sangatlah minim. Padahal di sisi kerentanan sekolah terhadap bencana cukup tinggi.

Diamati pula bahwa kondisi sekolah pada umumnya berada di wilayah rentan tapi tidak ditopang oleh kondisi fisik sekolah dari aspek sarana dan prasarana yang tahan dan kuat jika bencana datang.

Kembali ke soal rendahnya kapasitas warga sekolah. Minimnya pengetahuan dan pemahaman menjadi hal yang sangat berpengaruh, kondisi ini ditandai dengan kurangnya sumber sumber informasi dan pembelajaran yang memadai. Minimnya panduan, silabus dan materi pengajaran yang terdistribusi dan dapat di akses oleh warga sokolah menjadi hal yang menyulitkan guru dalam pengintegrasian PRB di antara sistem pendidikan dan kebencanaan.

Mengintegrasikan pendidikan bencana ke dunia pendidikan khususnya bagi siswa siswa SD memang dapat dilakukan melalui pendekatan pembelajaran bagi siswa sekolah. Misalnya disisipkanya materi kebencanaan pada mata pelajaran IPA, IPS, Geografi atau ke dalam Muatan Lokal. Namun perlu dipertimbangkan bahwa pendekatan metode pedagogis rentan pada posisi pembebanan siswa dari sisi mata pelajaran. Persoalan ini dapat dilihat dari beratnya beban siswa dengan kurikulum yang ada sekarang.

Di sisi lain, integrasi pengurangan risiko bencana berbasis sekolah harus mengacu pada karakteristik bencana di masing masing sekolah. Tergantung pada spesifikasi daerah dan lokasi geografis sekolah. Seperti hasil Pengkajian Risiko Bencana (disaster risk assement) yang dilakukan yayasan Jambata pada awal 2007 mengemukakan bahwa kabupaten Donggala memiliki keragaman jenis ancaman dan kerentanan.

Lanjut dari hasil kajian Jambata, menjelaskan bahwa keragaman dan tingginya risiko ini tidak dibarengi daya dukung kapasitas masayarakat dan pemerintah dalam menempatkan kondisi ideal penanggulangan risiko bencana. Hal itu, disebabkan karena tidak maksimalnya daya dukung sumberdaya manusia, ekonomi, lingkungan, infrastruktur dan tatanan social terhadap pengurangan risiko bencana.

Bila kemudian apa yang ada dalam hasil DRA dikaitkan pada PRB berbasis sekolah maka pilihan pengintegrasian pendidikan bencana tertuju pada muatan lokal yang ada di masing masing daerah. Tapi kembali ke soal tadi!, apakah tidak memberatkan siswa?

Diakui, beban kurikulum siswa memang sudah berat. Sehingga perlu dicari cara yang efektif untuk mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam dunia pendidikan dan masyarakat sekitar sekolah. Salah satu pilihan alternative adalah memasukkannya dalam program pembiasaan siswa dan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah sesuai dengan karakteristik sumberdaya sekolah.

Media dan Pendidikan Bencana
Dari pilihan alternatif pengintegrasian pendidikan bencana. Pengalaman ujicoba sosialisasi pendidikan bencana di dua Sekolah Dasar yang berbeda yaitu di SD Inpres Pakuli dan SDN Omu memberikan gambaran bahwa penggunaan media dan kegiatan kreatif bagi siswa dinilai cukup efektif dalam proses penyadartahuan bencana di kalangan warga sekolah dan masyarakat sekitar sekolah.

Uji coba sosialisasi PRB pada awal Mei 2009 itu, juga menghasilkan startegi baru yang efektif dan efesien. Melalui penggunaan media seperti film pendidikan bencana misalnya. Penayangan film cukup memacu motivasi dan kreativitas siswa untuk mempelajari bencana dan pengurangan risikonya. Selain film, juga digunakan media lain seperti penggunaan komik dinding, poster anak, lukisan anak, mural, lagu lagu berlirik siaga bencana dan permainan kreatif anak yang bermuatan pendidikan bencana.

Di bagian yang sama, masukan dari orang tua siswa dan guru di sekolah dalam diskusi film cukup memberikan masukan dan pertimbangan. Mereka para orang tua yang mendapingi anak anak mereka menyaksikan film bencana dinilai dapat menjadi alternatif tontonan bagi anak yang lebih bersifat mendidik dan membangun karekter positif dan daya pikir anak. Ungkapan ini merupakan wujud kegelisahan orang tua terhadap ramainya tanyangan media publik seperti sinetron atau realitiy show yang tidak mendidik anak dan masyarakat secara umum.

Selain penggunaan media dalam proses sosialisasi dan kampanye di sekolah, kegiatan lain yang akan dilakukan adalah melakukan latihan dan simulasi bersama warga sekolah, pembentukan tim peduli bencana di sekolah seperti tim siaga bencana cilik dan upaya upaya pelibatan guru dan masyarakat dalam mendorong kebijakan tanggap bencana di tingkat pemerintah, khususnya dalam proses penyusunan rencana pembangunan desa berprespektif pengurangan risiko bencana.[afa]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar