Kamis, November 05, 2009
Negeri di Atas Awan: Potret Dusun Topesino di Puncak Gunung Mantikole (1)
Sulitnya akses, membuat warga Dusun Topesino, Desa Mantikole, Dolo Barat, Kabupaten Sigi, nyaris terisolir. Hal itu membuat Dusun Topesino dan beberapa dusun lainnya di jajaran pengunungan Mantikole, berkembang lebih lambat dalam bidang apapun. Pendidikan, kesehatan hingga sosial ekonomi.
SETELAH sempat menyaksikan film dokumenter Sekolah Daun yang mengisahkan sekolah kelas jarak jauh SD Inpres Mantikole yang berada di atas pengunungan Mantikole, pada 11 Oktober lalu, baru tiga hari yang lalu (1/11), saya berkesempatan untuk menginjakkan kaki di dusun tempat sekolah itu berdiri.
Saya tidak sendiri saat itu, namun bersama enam rekan saya yang tergabung dalam Pewarta Foto Indonesia (PFI) Palu. Mereka adalah Ketua PFI Palu Basri Marzuki, Rohiyat, Reyhan Kade, Hajar Wisnu, Fiqman Sunandar, dan Andi Irma.
Di antara rekan saya itu ada beberapa fotografer freelancer profesional dan foto karya mereka tidak jarang menjadi konsumsi kantor berita nasional. Sebab itu, kunjungan ke Dusun Topesino bukan hanya sekedar hunting foto biasa. Sama seperti saya, beberapa rekan fotografer itu sejatinya tengah bekerja.
Mengingat kedatangan kami ke Dusun Topesino merupakan kali pertama, maka rombongan kami mendapat bantuan khusus. Terutama bantuan petunjuk jalan. Saat itu, rombongan kami dibantu oleh Indrawati Sambow AMa (35), Muhammad Rizal (37), Arjun (29), dan Sekretaris Desa Mantikole Sudin M (48).
Di tangan empat orang tersebut kami mengantungkan nasib perjalanan kami sepenuhnya. Untuk itu kami menaruh kepercayaan. Sebab kami yakin empat orang itu memiliki “jam terbang” yang tinggi turun dan naik gunung Mantikole. Indrawati, Rizal dan Arjun merupakan guru Sekolah Daun. Sementara Sudin berasal dari Dusun Topesino, meski saat ini dirinya memilih bermukim di Dusun Sosial, yang terletak di kaki gunung.
Setelah meminta izin kepada Kepala Desa Mantikole, Muhtar K, sekitar pukul 07.30 WITA kami memulakan perjalanan. Saya pribadi merasakan kesenangan dan ketidaksabaran ingin melihat Dusun Topesino. Rupanya rasa ini juga dialami oleh rekan saya yang lain. Karena itu kami sempat bercanda ria sesaat sebelum memasuki area pendakian pertama di pegunungan Mantikole.
Senda gurau kami itu, lantas mengundang celutukan dari Indrawati. “Ya, tertawa memang sekarang. Kalau sudah di atas, susah tertawa,” ujar Indrawati ringan. Perkataannya itu lantas disambut setuju oleh Rizal dan Arjun. Sementara Sudin, pak Sekdes, hanya senyum simpul dan tetap berjalan di belakang kami.
Sindiran Indrawati itu berubah kenyataan. Belum sampai 300 meter perjalanan mendaki, rombongan kami sudah kepayahan. Tidak ada senda gurau. Yang ada hanyalah kedua tangan menekan pinggang, napas yang tersengal-sengal dan denyut keras jantung di kepala. Itu membuat kami terpaksa berhenti sejenak.
Sudin lantas memutuskan membuatkan empat tongkat bagi rombongan kami, dengan harapan bisa membantu kami mendaki. Sementara Arjun dan Rizal menawarkan bantuan untuk membawa tas ransel kami. Itu membuat saya berpikir betapa kuatnya mereka.
Kelelahan dini yang kami rasakan itu, boleh jadi cukup manusiawi. Jarak 300 meter yang kami tempuh sangat tidak mudah. Sebab bukannya tanah datar yang kami tapaki namun jalan mendaki yang cukup miring. Saat itu kami tidak tahu apa yang kami alami saat itu sama sekali belum berarti apa-apa. Sebab menurut Indrawati, memerlukan waktu selama 3 jam (waktu normal) untuk sampai di Dusun Topesino di puncak gunung. Sementara perjalanan kami tempuh baru 15 menit.
Usai peristirahatan sejenak itu, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Tekad bulat untuk bisa menyaksikan lebih dekat kehidupan warga Dusun Topesino, khususnya Sekolah Daun, seakan menjadi suntikan semangat bagi kami. Bagi rekan fotografer saya, membidikan kamera saat mendapatkan objek bagus selama perjalanan menjadi semacam cara menyenangkan hati dan menjaga agar tetap semangat. Itupula yang membuat kamera, Hajar Wisnu, salah satu rekan fotografer, mati tiba-tiba karena berembun.
Upaya menyenangkan hati dan saling memberikan semangat itu memang perlu dan penting dilakukan. Sebab selama tiga jam perjalanan kami, sangat sulit. Setiap 100 meter mendaki, rombongan kami terpaksa harus berhenti sejenak untuk mengatur napas, merengangkan kaki atau minum air. Beberapa kali nada keputusasaan dan keluhan terdengar dari rombongan kami, sampai Indrawati mengeluarkan sindiran semangatnya lagi.
“Kalau menyerah sampai di sini, jangan bilang kamu jantan. Harus sampai di atas baru jantan namanya,” kata Indrawati. Sindiran itu rupanya cukup mujarab. Rekan saya yang lelaki langsung bersemangat untuk mendaki lagi. Menyusuri gunung Mantikole setapak demi setapak.
Menurut Sudin, Sekdes Mantikole, dari kaki gunung sampai puncak di mana Dusun Topesino berada, sekitar tiga kilometer dan bisa ditempuh selama 3 jam perjalanan. Soal ketinggian gunung, Sudin mengaku tidak tahu. Dia hanya mengetahui bahwa gunung Mantikole itu lebih pendek dari gunung Gawalise. Namun tidak lantas mambuatnya mudah di daki. Sebab gunung Mantikole punya kemiringan yang cukup ekstrim.
Soal kemiringan, rombongan kami sepakat hal itu turut mempengaruhi nyaris terisolirnya Dusun Topesino. Tidak main-main, kemiringan yang kami daki bisa mencapai 45 derajat. Hal itu memaksa 94 persen perjalanan ditempuh dengan mendaki tanjangan yang sulit. Ditambah lagi jalan setapak yang rentan longsor dan berada di bibir jurang. Lengah sedikit saja, maka bisa tergelincir.
Sementara tanah datar yang berjarak hanya sekitar 8 meter, baru bisa didapat setelah dua jam perjalanan. Indrawati menyebutnya sebagai bonus, sementara rekan saya yang lain menyebutnya sebagai oase layaknya mata air di tengah padang pasir.
Karena itu saya sempat heran dan menyatakan salut terhadap keteguhan yang dimiliki oleh Indawati, Arjun, Rizal maupun Nardus, para ibu dan bapak guru Sekolah Daun. “Yah, kami (guru Sekolah daun, red) hanya kejar berkahnya. Harap pahala saja. Ayo, tinggal tiga belokan lagi kita sampai,” ujar Indrawati menanggapi.
Tiga belokan yang dimaksudkan Indrawati, rupanya hanya penyemangat saja. Saya menghitung perlu lebih dari delapan belokan dengan tanjakan yang tajam, baru bisa mengantarkan kami tepat di mulut Dusun Topesino, puncak Gunung Mantikole. Dengan perasaan bercampur aduk kami lantas bersorai, “Berhasil!”.(bersambung)
Sumber tulisan : Nur Soima Ulfa,
Photo : Andi F Alwi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Bukan main.. terasa berat ya perjalanannya..
BalasHapusAnda pergi ke sana dengan tujuan apa?
Benar-benar ampun kak... Saya sempat nangis pengen pulang ketika sampai di padang ilalang...
BalasHapusTapi, ketika sampai di atas, semua rasa capek itu mendadak lenyap. Ada kepuasan tersendiri.