Rabu, November 10, 2010

Menjejaki Komunitas Suku Seasea diDataran Tinggi Pulau Peling




Identitas Seasea, Legenda dan Kearifan Lokal
Berawal dari ide membuat film documenter tentang komunitas pedalaman, saya berinisiatif untuk melakukan riset tentang kehidupan Suku Seasea di dataran tinggi pulau Peling, Sulawesi Tengah.Rasa keingintahuan saya terhadap Suku Seasea bermula pada performa pertunjukan seni budaya dari kabupaten Banggai Kepulauan.Di saat itu, saya diselimuti aroma magis yang kuat menyaksikan tarian dan nyanyian tradisi mereka.Firasatku, ada hal lain yang tersembunyi dan akan mencengangkan bila langsung berada di Seasea sesungguhnya.

Ditemani oleh dua orang aktivis LSM lokal di Salakan, Mas Huda dan rekannya.Kami memulakan perjalanan dari Salakan, Ibukota Banggai kepulauan.Perjalanan menyisiri sisi timur pulau menuju sisi barat. Karena pertimbangan ingin menjejali sebagian besar landscape Pulau Peling, kami bersepakat untuk melintasi dua jalur. Jalur berangkat, kami memilih melewati Bulagi dan ketika pulang nantinya akan melewati jalur yang berbeda yaitu Buko, Lumpia Lumpia sampai di Seasa untuk kembali ke Salakan.

Pilihan jalur ini ternyata memakan waktu cukup lama. Selepas poros dari Batukuki dan Bulagi, kondisi jalan yang mulus terganti dengan kondisi jalan yang berlongsor dan berlubang.Tentu saja, kondisi ini membutuhkan konsentrasi penuh dalam memainkan setir, kopling dan gas.Lengah sedikit, fatal akibatnya.Jurang yang dalam di sisi kiri jalan terjal mengerikan.Belum lagi, sepanjang perjalanan hujan turun begitu deras.Di daerah pegunungan yang kami lalaui juga terhalang jarak pandang yang aman akibat kabut tebal.

Karena kondisi medan sedemikian berat, memaksa kami tidak dapat meneruskan perjalanan sampai ke Buko hari itu juga. Akhirnya kamipun bersepakat untuk menginap di salah satu desa di mana kerabat Mas Huda tinggal.Nama desanya unik, membuat saya sulit mengingatnya. Patokan saya untuk mengingat posisi desa ini adalah jarak tempuh dari desa itu ke Buko. Hanya butuh waktu tempuh kurang dari tiga jam.

Dari jalan poros Buko, sebuah persimpangan jalan kami temui. Dari sini kemudian medan jalan mulai menanjak mengitari sisi pegunungan. Kami sempat beristirahat di salah satu titik, kira kira di atas 1000 mdpl.Dari tempat itu, leluasa dapat menikmati keindahan landscape laut sekitar pulau Peling.Nampak jelas hutan mangrove dan pulau pulau kecil dan besar yang menyebar dan terpisah.Bagi kami itu adalah hiburan kecil untuk melawan hawa dingin selama perjalanan.

Target kami, di hari kedua adalah tiba di desa Osan.Secara administrative, desa Osan masuk di wilayah kecamatan Bulagi Selatan.Mencapai desa ini juga membutuhkan tenaga ekstra karena hanya dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua.Parahnya, jalan menuju Osanadalah jalan setapak.Itupun harus dilanjutkan dengan berjalan kaki bila ingin bertemu langsung dengan komunitas Seasea yang masih hidup dan berdiam di dalam hutan.

Mengikuti rencana awal perjalanan kami semasih di Salakan.Di desa Osan kami berusaha menemui Kepala Desa, niatannya untuk meminta izin masuk ke pedalaman Seasea dan meminta bantuan warga kiranya ada yang bersedia mengantar kami masuk ke pedalaman Seasea.Diam diam kami masih ragu untuk masuk tanpa penunjuk jalan.Selain mengurangi resiko kesasar selama di hutan, kami juga banyak mendapat saran dari beberapa orang yang kami temui selama perjalanan.Saran mereka umumnya menganjurkan untuk mencari orang di Osan agar aman masuk di wilayah pedalaman Seasea.

Saran saran itu memang cukup beralasan.Menurut kalangan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir pulau Peling, mereka suku Seasea ini sangat proctetive dengan orang asing.Penduduk di pesisir menjuluki mereka sebagai “pau kinolot” yang berarti orang yang sering menyembelih orang.Selain itu, bahasa mereka masih asli dan belum banyak dari mereka yang paham bahasa Indonesia.Alhasil, atas bantuan Sekdes Osan seorang warga yang kerap keluar masuk pedalaman Seasea menyatakan kesediaannya menemani kami selama melakukan riset di komunitas Seasea.Beliau, Mikus M. Tokoh masyarakat di desa ini.

Kami juga mendapatkan banyak informasi tentang suku Seasea dari Mikus.Menurutnya, ada tiga kelompok suku Seasea yang masih tinggal di hutan.Kelompok kelompok ini bermukin di suatu wilayah hutan yang disebut Lipu. Tiga kelompok ini berdasarkan pembagiannya meliputi Lipu Tetek, Lipu Bubasak dan Libu Tuboan. Lipu yang paling jauh dari desa Osan adalah Lipu Bubasak.Di mana komunitas di Lipu yang paling jauh ini masih berburu dan masih banyak mengenakan kulit kayu sebagai pakaian sehari hari.

Istilah Lipu merupakan unit paling kecil setingkat desa sekarang.Lipu sendiri merupakan peristilahan dari warisan Pemerintahan Kerajaan Banggai dahulu.Masing masing Lipu dipimpin oleh perangkat adat yang digelar tonggol.Tonggol diakui sebagai pemimpin dalam struktur masyarakat dan diakui sampai sekarang oleh komunitasnya. Sebagai bagian penting kerajaan Banggai, Tonggol juga merupakan bagian dari perangkat kerajaan di tingkat paling bawah. Kepala suku.Begitulah kira kira terjemahannya secara sederhana.

Penjelasan Mikus tentang Lipu dan Tonggol makin memompa semangat dan rasa penasaran kami tentang Seasea.Kami akhirnya bersepakat untuk menginap di Lipu terdekat dari desa Osan untuk menemui tetua adat yang di gelar Tonggol itu. Perjalanan ke Lipu Bubasak dan Lipu Tuboan kami rencanakan akandilanjutkan setelah itu di hari selanjutnya. Selama perjalanan ke Lipu Tetek, kami mulai membayang bayangkan bagaimana sulitnya untuk menjangkau dua Lipu Bubasak dan Lipu Tubuan.Lipu yang paling dekat dari desa Osan saja sungguh menguras tenaga kami.Medan yang kami tempuh hanya berupa jalan setapak, mendaki dan licin.Vegetasi hutan didomanisasi tumbuhan pakis, tumbuhan perdu dan ilalang.

“Sedikit lagi kita sampai, kita sudah memasuki Lipu Tetek.Ini sudah memasuki kebunnya orang orang di Lipu Tetek di atas”, tunjuk Mikus.Kebun yang dimaksud olehnya adalah hamparan lahan yang didominasi jenis umbi umbian dan talas.Hanya dua tiga pohon pisang dan kelapa yang ditumbuh di lahan yang dimadsud Mikus.

Seratusan meter dari lokasi kebun, jalan yang kami susuri mulai mendatar. Kami yakin bidang datar ini merupakan punggungan gunung yang berkontur landai antara dua bukit kecil di sisi timur dan tenggara.Terdapat tiga pondok yang terbuat dari kayu glondongan sebesar betis orang dewasa dan beratap daun nipah. Tanpa ditanya, Mikus menjelaskan bahwa pondok yang paling besar ukurannya di antara pondok yang lain adalah rumah milik Tonggol Seasea. “Pondok penduduknya lainnya ada di balik bukit yang di sana,”, terangnya.

Kami akhirnya tiba di Lipu Tetek.Lenggang.Itu suasana yang kami rasakan pertama kali di Lipu Tetek.Tak ada hiruk pikuk orang bercengkarama di dalam pondok yang kami tuju.Hanya gongongan anjing dari dalam pondok yang menyambut kami.Sayup kami dengar dari kejauhan suara suling.Irama sulingnya asing ditelinga, Khas music tradisional.Ritmenya datar dan sesekali menukik tajam.

“Tak ada orang di dalam, mungkin masih di kebun” terang Mikus.Kamipun memutuskan menunggu di pekarangan depan. Sambil menunggutuan rumah, kami mencoba mengambil gambar dan merekam suasana sekitarnya. Umumnya kondisi pemukiman di Lipu Tetekmemiliki jenistopograpi berbukit.Tanahnya mempunyai kandungan kapur yang sangat tinggi.Tidak ada sungai dan mata air yang kami jumpai di Lipu Tetek.Bisa dipastikan, komunitasnya sangat kesulitan dalam pemenuhan air bersih.

Dijelaskan oleh Mikus, komunitas setempat bergantung pada curah hujan untuk kebutuhan air dan berladang.Tak jarang dijumpai di wilayah dataran tinggi seperti Seasea, pepohonan berdiameter besar dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk mendapatkan air.

Unik dan tradisional.Caranya, mereka mengikat dedaunan di batang pohon besar.Hasilnya, tetesan air hujan dan embun pada pagi hari yang menetes di batangdan sedikit demi sedikit tertampung dalam wadah yang disiapkan. Wadah yang dipakai umumnya merupakan tong yang terbuat dari tempikar tanah. Orang Seaseamenyebutnya “gumbang.Asli buatan Seasea katanya.

Namun pada saat musim kemarau berlangsung dan persedian mulai menipis, warga kemudian menempuh cara lain untuk mendapatkan air bersih. Cara yang dilakukan adalah dengan menebang jenis pohon Meranti dan pohon Bambu.Dari dua jenis pohon ini, masyarakat dapat mengakses air walaupun dalam ukuran yang relative kecil dan tak cukup untuk kebutuhan mandi dan mencuci.

Penjelasan Mikus kepada kami sore itu,sangat membantu kami untuk mendapatkan gambaran kehidupan keseharian komunitas Seasea.Beruntung pula, ketika tetua Tonggol sudah datang sore itu dan mengajak kami untuk menginap di pondok miliknya.Dengan demikian, malam hari kami dengan leluasa dapat berbicang bincang dengan beliau tentang Seasea secara lengkap.Rasa letih selama perjalanan terbayarkan, akhirnya.

Di pondok beliau, kami juga berkenalan dengan anak dan cucu tetua Tonggol.Beberapa orang tetangga juga datang untuk berkenalan dengan kami dan mengobrol.Umumnya mereka memiliki tipe kulit berwarna gelap dan berambut keriting.Uniknya, tua muda, laki laki dan perempuan semuanya merokok.Jenis rokok yang mereka isap adalah jenis tembakau lokal yang dilinting dengan daun pisang yang kering.Rasanya cukup keras.

Perbicangan kami dengan mereka dibantu oleh Mikus sebagai penerjemah.Suasana antara kami kemudian dengan cepat menjadi cair, beberapa orang dari keluarga Tonggolbergurau dengan kami.Tetua Tonggol bahkan sesekali melucu.Ternyata, umumnya orang orang di Seasea ramah dan bersahabat.Detik itu juga, kami lega.Istilah “pau kinolot” ternyata tidak terbukti.

Dijelaskan bahwa dahulu wilayah seasea merupakan wilayah yang banyak didiami.Warga setempat meyakini bahwa di wilayah Lipu Tetek merupakan kampung tertua suku Seasea. Namun karena telah terjadi migrasi besar besaran dari kampung tua ke wilayah lain.Membuat pemukiman Seasea sekarang menjadi sepi penduduk.Umumnya mereka banyak yang bermigrasi ke wilayah dataran rendah sampai ke pesisir pulau Peling bagian Barat.

Kuat dugaan, migrasi besar besaran suku Seasea ke wilayah lain karena pertimbangan ekonomis. Di mana kondisi tanah yang umumnya berkapur dan tak ada sumber air yang menyebabkan warga sulit bertahan.Adapun warga yang masih tetap bertahan lebih memilih membudidayakan tanaman yang dapat tumbuh di daerah kering. Hal itu dapat terlihat di kebun kebun orang Seasea, umumnya mereka menanami ladang mereka dengan jenis tanaman talas (dioscorea alata.sp).

Talas merupakan makanan pokok komunitas Seasea.Ada legenda yang diceritakan bahwa talas juga merupakan tanaman roh roh.Menurut mitos yang mereka pahami, jenis tanaman talas diciptakan bersamaan dengan manusia pertama di Seasea.Kemudian oleh para leluhur mereka, talas ini dipindahkan ke ladang dan menjadi tanaman pokok orang Seasea.Oleh karenanya, bagi komunitas Seasea, talas merupakan tanaman yang disakralkan.

Selain itu, kami juga mendengarkan penjelasan dari Tetua Tonggol tentang legenda orang pertama Seasea.Disebutkan olehnya bahwa orang pertama yang ada di Seasea bernama Boloki Seasea.Menurut kepercayaan komunitas Seasea, Boloki Seasea adalah seorang perempuan yang bisa menjelma menjadi kucing. Sehingga ia diberi gelar Tomundo Sasa, Tomundo artinya Raja dan Sasa artinya kucing. Boloki Seasea ini kemudian mempunyai tiga orang anak . Dia inilah kemudian menjadi cikal bakal penerus generasi Seasea, sehingga orang orang di Seasea biasa juga dikenal dengan sebutan Pau Seasea yang berarti keturunan Seasea.

Legenda lain adalah Boloki Seasea tidak mempunyai kuburan di Seasea. Ini terjadi karena Boloki Seasea suatu ketika menghilang di salah satu puncak gunung di wilayah utara tanah adat Seasea. Itulah kemudian orang Seasea meyakini kuburannya tidak dapat dijumpai di wilayah Seasea.“Boloki Seasea itu tidak meninggal seperti manusia biasa, tapi dia itu menghilang”, cerita Tonggol kepada kami.

Berkaitan dengan legenda Boloki Seasea ini, kami mencoba membandingkan penuturan Hukum Tua Lembaga Masyarakat Adat Kerajaan Banggai, H Yusuf Basan di Salakan.Dari beliau, dijelaskan bahwa pada di awal masehi salah ada salah satu raja dari delapan raja Kerajaan Banggai pada masa itu bernama Tomundo Sasa atau dijuluki Mbumbu Patola.Mbumbu artinya Raja dan Patola adalah kucing.Artinya, legenda tentang Boloki Seasea memiliki kemiripan sejarah yang ada di Kerajaan Banggai dahulu.

Hal laintentang suku Seasea, H Yusuf Basan memberikan penjelasanbahwa bila dilogikakan tentang kata Seasea adalah uraian kata Sasa, yang memiliki arti dari kata kucing. Kata Sasa ini kemudian menurut analisa beliau besar kemungkinan mengalami perubahan dialek di wilayah pesisir.Dari kata Sasa menjadi Seaseasekarang.

Perbincangan kami di pondok tentang pola tradisional bercocok tanam sampai tentang legenda Seasea berlanjut dari makan malam dengan talas rebus hingga larut malam.Semakin larut, cuaca di dalam pondok semakin dingin menusuk tulang. Banyak kali kami harus keluar untuk membuang air karena dikalahkan hawa dingin. Untunglah, tungku api yang berada di sisi kanan dalam pondok membantu kami.Pagi harinya, Tonggol menertawakan kami.katanya, kami tidur semalaman seperti kucing basah. Berguling ke sana kemari karena dingin yang begitu tajam.


Pengetahuan Lokal dan Tata Kelola Lahan Komunitas Seasea
Pagi di hari ketiga.Ditemani oleh salah seorang cucu dari Tetua Tonggol kami melanjutkan riset di sekitar Lipu Tetek.Kami menemukan pola penataan pemukiman orang Seasea yang cukup menarik perhatian.Di wilayah pegunungan Seasea, tata guna lahan memiliki pengaturan yang khas.Pondok pondok atau rumah tinggal mereka terletak secara terpisah.Nampaknya diatur dengan pola yang sama. Bisa saja ini bagian dari kearifan lokal dalam melakukan penataan dan pengunaan lahan suku Seasea.

Secara kasat, dapat dikatakan bahwa satu topografi yang berupa gunung terletak satu rumah. Dengan kata lain, satu gunung satu rumah. Di mana satu rumah atau pondok ini didiami oleh satu keluarga.Bila salah satu anggota keluarga sudah dewasa dan menikah, maka ia akan membuat pondok atau rumah yang berpisah dengan orang tuanya. Untuk masing masing keluarga memiliki rata rata lebih dari satu bidang tanah untuk dijadikan ladang.

Ladang diolah secara bergiliran sesuai aturan lokal sepanjang tahun.Kami menemukan pembuktian bahwa ternyata anggapan banyak kalangan bahwa masyarakat yang ada di wilayah pedalaman, khususnya di dataran tinggi seperti suku Seasea ternyata bukan peladang berpindah.Justru sebaliknya, ternyata mereka memiliki pola tata guna lahan yang diolah secara bergiliran dan diatur secara arif.

Pola itu dapat dilihat dengan cara mereka memperlakukan lahan milik mereka. Di mana satu keluarga mengelola dua atau tiga lahan secara terpisah.Di mana mereka hanya mengolah satu lahan saja sepanjang musim tanam.Lahan yang satunya lagi dibiarkan bero.

Dengan di biarkan satu dari dua atau tiga lahan untuk tidak di olah atau dibiarkan bero memberikan kesempatan lahan bero melakukan pemulihan unsur hara tanah secara alami.Sumber hara berasal dari tumbuhan liar dan ilalang yang ada di ladang yang diistirahatkan.Waktu yang dibutuhkan umumnya satu periode musim tanam.Di periode tanam berikutnya, barulah lahan bero di olah kembali.Cara ini dilakukan secara bergiliran.Sehingga dengan mudah kita bisa menyimpulkan bahwa perlakuan bero dan di olahnya lahan berlangsung secara bergiliran untuk memberikan kesempatan lahan ladang melakukan pemulihan unsur hara secara alami.

Dari ladang yang mereka olah, umumnya diperuntukkan untuk kebutuhan pangan sehari hari.Hanya sebagaian saja yang di jual ke pasar.Itupun hanya di jual di pasar tradisional di desa Osan.Pasar ini juga hanya digelar sekali seminggu.

Di pasar tradisional ini, mereka masih mengunakan system barter.Umunya hasil panen warga ditukar dengan kebutuhan sehari hari seperti garam, ikan asin, minyak tanah untuk kebutuhan penerangan, dan beberapa dari mereka menukar hasil panen dengan pakaian bekas.

Walaupun kurang melakukan interaksi dengan dunia luar dan terisolasi dari segi jarak, Suku Seasea nampaknya pernah memiliki puncak beradaban di masa masa yang lalu.Ini dapat dibuktikan dengan adanya ilmu pengetahuan mereka yang mengenal seni membakar tembikar, menempa besi dan menuang tembaga yang diajarkan secara turun temurun. Sisa peradaban ini dapat dilihat dengan masih dijumpainya beberapa jenis gong dari tembaga, tombak, dan sebahagian penduduknya memiliki keahlian membuat parang tradisional khas Seasea.

Umumnya, mereka juga mahir memainkan alat musik tradisional, gendang, gong, suling bambu.Kami sempat disuguhkan pertunjukan seni tradisi.Diringi alat music tradisi, penarinya mengelilingi tiang rumah dengan panas terhunus berkelebat kelebat.Sangat memukau dan terasa daya magisnya.Tarian Cakalele, begitu mereka menamai tarian ini.


Lingustik Seasea, Dialek dan Bahasa Yang Khas
Selama berdiam di Seasea.Dialek dan bahasa Seasea turut menjadi perhatian kami.Selain khas dalam dialek, juga sepertinya beberapa kosa kata yang digunakan sulit dipahami.Contohkan saja seperti Mikus, penerjemah kami yang turut dalam riset kami. Terkadang kami amati, ia perlu mengulang beberapa kali untuk mendengarkan atau memberikan informasi ke pada komunitas Seasea di sana.

“ada beberapa bahasa yang sulit saya pahami orang sini, mereka di sini masih pakai bahasa asli Seasea, sedangkan kami yang di bawah sudah tercampur dengan bahasa lain”, terang Mikus.

Bahasa orang Seasea, tambah Mikus, oleh masyarakat yang bermukim di desa Osan mengakui ada beberapa kosa kata yang dimiliki oleh saudara mereka yang ada di gunung justru tidak dimengerti.Terutama mereka yang berdiam di wilayah lipu Tubuan yang tinggal lebih jauh lagi dalam hutan.Artinya, bahasa asli memang masih terpelihara.

Menyoal tentang kekhasan Seasea dalam berbahasa.Mari kita coba mencermati tentang bahasa bahasa yang ada di Banggai dan Banggai Kepulauan.Adapun bahasa orang Seasea merupakan salah satu bahasa Banggai yang mempunyai konstruksi genitive bertiga ganda. Salah satu contoh kata aki yang berarti tidak yang berbeda dengan bahasa Balantak yang mengatakan sian dan Saluan menyebut madi untuk kata yang bermakna sama. Para pengucap aki di masyarakat Banggai juga terbagi dalam dua bagian.Satu bagian di wilayah Timur dan satu kelompok komunitas di wilayah Barat.

Di Pulau Peling, semakin mengarah ke wilayah barat, nampaknya memiliki perbedaan dialektis dari pengunaan kata di banding dengan para penguna kata aki di wilayah timur. Di mana komunitas di wilayah barat, khususnya di Seasea menghilangkan huruf huruf K dan G di tengah kata dengan mengantinya dengan hamzah.Sehingga kata aki menjadi a’i. Dialek Seasea yang khas lainnya adalah di setiap kata yang mengandung huruf R dan diganti dengan huruf L. Sehingga, dalam berbahasa Seasea terdengar cadel.

Ada kemungkinan, perbedaan dialek ini terjadi karena kedua kelompok komunitas ini terpisah dari sisi wilayah dan aksebilitas.Satu kelompok berdiam di desa dan satu kelompok masih berdiam di hutan.Kelompok komunitas yang ada di desa Osan memiliki akses untuk berhubungan dengan dunia luar sehingga memiliki system transformasi bahasa dan social budaya yang cepat berubah.

Sedang komunitas yang masih tinggal di hutan masih terisolasi.Keterisolasian ini kemudian menciptakan sisi positif di mana bahasa asli orang Seasea yang bermukim di hutan tidak mudah dipengaruhi oleh bahasa dan dialek lain. Terutama pengaruh bahasa Indonesia yang umumnya menjadi bahasa sehari hari mayoritas masyarakat yang ada di Pulau Peling.

Terkait soal itu, Komunitas Seasea dalam meneruskan sejarah dan budayanya, termasuk dalam melestarikan bahasa lokal hanya bergantung pada budaya tutur. Komunitas Seasea tidak mengenal proses pendokumentasian dalam bentuk tulis, hanya lisan dari generasi ke generasi. Di komunitas lain di Indonesia, semisal Kertagama di Jawa dan Lagaligo dan aksara Lontara milik Bugis Makassar, terbukti mampu melestarikan budaya dan bahasa setempat sampai saat ini.Adapun Seasea hanya mengenal pendokumentasian bahasa asli hanya dengan teks berupa tuturan, nyanyian, tanda dan symbol.

Kamis, November 05, 2009

Negeri di Atas Awan: Potret Dusun Topesino di Puncak Gunung Mantikole (1)


Sulitnya akses, membuat warga Dusun Topesino, Desa Mantikole, Dolo Barat, Kabupaten Sigi, nyaris terisolir. Hal itu membuat Dusun Topesino dan beberapa dusun lainnya di jajaran pengunungan Mantikole, berkembang lebih lambat dalam bidang apapun. Pendidikan, kesehatan hingga sosial ekonomi.


SETELAH sempat menyaksikan film dokumenter Sekolah Daun yang mengisahkan sekolah kelas jarak jauh SD Inpres Mantikole yang berada di atas pengunungan Mantikole, pada 11 Oktober lalu, baru tiga hari yang lalu (1/11), saya berkesempatan untuk menginjakkan kaki di dusun tempat sekolah itu berdiri.

Saya tidak sendiri saat itu, namun bersama enam rekan saya yang tergabung dalam Pewarta Foto Indonesia (PFI) Palu. Mereka adalah Ketua PFI Palu Basri Marzuki, Rohiyat, Reyhan Kade, Hajar Wisnu, Fiqman Sunandar, dan Andi Irma.

Di antara rekan saya itu ada beberapa fotografer freelancer profesional dan foto karya mereka tidak jarang menjadi konsumsi kantor berita nasional. Sebab itu, kunjungan ke Dusun Topesino bukan hanya sekedar hunting foto biasa. Sama seperti saya, beberapa rekan fotografer itu sejatinya tengah bekerja.

Mengingat kedatangan kami ke Dusun Topesino merupakan kali pertama, maka rombongan kami mendapat bantuan khusus. Terutama bantuan petunjuk jalan. Saat itu, rombongan kami dibantu oleh Indrawati Sambow AMa (35), Muhammad Rizal (37), Arjun (29), dan Sekretaris Desa Mantikole Sudin M (48).

Di tangan empat orang tersebut kami mengantungkan nasib perjalanan kami sepenuhnya. Untuk itu kami menaruh kepercayaan. Sebab kami yakin empat orang itu memiliki “jam terbang” yang tinggi turun dan naik gunung Mantikole. Indrawati, Rizal dan Arjun merupakan guru Sekolah Daun. Sementara Sudin berasal dari Dusun Topesino, meski saat ini dirinya memilih bermukim di Dusun Sosial, yang terletak di kaki gunung.

Setelah meminta izin kepada Kepala Desa Mantikole, Muhtar K, sekitar pukul 07.30 WITA kami memulakan perjalanan. Saya pribadi merasakan kesenangan dan ketidaksabaran ingin melihat Dusun Topesino. Rupanya rasa ini juga dialami oleh rekan saya yang lain. Karena itu kami sempat bercanda ria sesaat sebelum memasuki area pendakian pertama di pegunungan Mantikole.

Senda gurau kami itu, lantas mengundang celutukan dari Indrawati. “Ya, tertawa memang sekarang. Kalau sudah di atas, susah tertawa,” ujar Indrawati ringan. Perkataannya itu lantas disambut setuju oleh Rizal dan Arjun. Sementara Sudin, pak Sekdes, hanya senyum simpul dan tetap berjalan di belakang kami.

Sindiran Indrawati itu berubah kenyataan. Belum sampai 300 meter perjalanan mendaki, rombongan kami sudah kepayahan. Tidak ada senda gurau. Yang ada hanyalah kedua tangan menekan pinggang, napas yang tersengal-sengal dan denyut keras jantung di kepala. Itu membuat kami terpaksa berhenti sejenak.

Sudin lantas memutuskan membuatkan empat tongkat bagi rombongan kami, dengan harapan bisa membantu kami mendaki. Sementara Arjun dan Rizal menawarkan bantuan untuk membawa tas ransel kami. Itu membuat saya berpikir betapa kuatnya mereka.

Kelelahan dini yang kami rasakan itu, boleh jadi cukup manusiawi. Jarak 300 meter yang kami tempuh sangat tidak mudah. Sebab bukannya tanah datar yang kami tapaki namun jalan mendaki yang cukup miring. Saat itu kami tidak tahu apa yang kami alami saat itu sama sekali belum berarti apa-apa. Sebab menurut Indrawati, memerlukan waktu selama 3 jam (waktu normal) untuk sampai di Dusun Topesino di puncak gunung. Sementara perjalanan kami tempuh baru 15 menit.

Usai peristirahatan sejenak itu, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Tekad bulat untuk bisa menyaksikan lebih dekat kehidupan warga Dusun Topesino, khususnya Sekolah Daun, seakan menjadi suntikan semangat bagi kami. Bagi rekan fotografer saya, membidikan kamera saat mendapatkan objek bagus selama perjalanan menjadi semacam cara menyenangkan hati dan menjaga agar tetap semangat. Itupula yang membuat kamera, Hajar Wisnu, salah satu rekan fotografer, mati tiba-tiba karena berembun.

Upaya menyenangkan hati dan saling memberikan semangat itu memang perlu dan penting dilakukan. Sebab selama tiga jam perjalanan kami, sangat sulit. Setiap 100 meter mendaki, rombongan kami terpaksa harus berhenti sejenak untuk mengatur napas, merengangkan kaki atau minum air. Beberapa kali nada keputusasaan dan keluhan terdengar dari rombongan kami, sampai Indrawati mengeluarkan sindiran semangatnya lagi.

“Kalau menyerah sampai di sini, jangan bilang kamu jantan. Harus sampai di atas baru jantan namanya,” kata Indrawati. Sindiran itu rupanya cukup mujarab. Rekan saya yang lelaki langsung bersemangat untuk mendaki lagi. Menyusuri gunung Mantikole setapak demi setapak.

Menurut Sudin, Sekdes Mantikole, dari kaki gunung sampai puncak di mana Dusun Topesino berada, sekitar tiga kilometer dan bisa ditempuh selama 3 jam perjalanan. Soal ketinggian gunung, Sudin mengaku tidak tahu. Dia hanya mengetahui bahwa gunung Mantikole itu lebih pendek dari gunung Gawalise. Namun tidak lantas mambuatnya mudah di daki. Sebab gunung Mantikole punya kemiringan yang cukup ekstrim.

Soal kemiringan, rombongan kami sepakat hal itu turut mempengaruhi nyaris terisolirnya Dusun Topesino. Tidak main-main, kemiringan yang kami daki bisa mencapai 45 derajat. Hal itu memaksa 94 persen perjalanan ditempuh dengan mendaki tanjangan yang sulit. Ditambah lagi jalan setapak yang rentan longsor dan berada di bibir jurang. Lengah sedikit saja, maka bisa tergelincir.

Sementara tanah datar yang berjarak hanya sekitar 8 meter, baru bisa didapat setelah dua jam perjalanan. Indrawati menyebutnya sebagai bonus, sementara rekan saya yang lain menyebutnya sebagai oase layaknya mata air di tengah padang pasir.

Karena itu saya sempat heran dan menyatakan salut terhadap keteguhan yang dimiliki oleh Indawati, Arjun, Rizal maupun Nardus, para ibu dan bapak guru Sekolah Daun. “Yah, kami (guru Sekolah daun, red) hanya kejar berkahnya. Harap pahala saja. Ayo, tinggal tiga belokan lagi kita sampai,” ujar Indrawati menanggapi.

Tiga belokan yang dimaksudkan Indrawati, rupanya hanya penyemangat saja. Saya menghitung perlu lebih dari delapan belokan dengan tanjakan yang tajam, baru bisa mengantarkan kami tepat di mulut Dusun Topesino, puncak Gunung Mantikole. Dengan perasaan bercampur aduk kami lantas bersorai, “Berhasil!”.(bersambung)

Sumber tulisan : Nur Soima Ulfa,
Photo : Andi F Alwi

Minggu, September 13, 2009

SIGI RAWAN BENCANA ALAM


SIGI, MERCUSUAR. Kabupaten Sigi merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Tengah yang rawan bencana alam. Kondisi geografis kabupaten membuat beberapa kecamatan di wilayah ini tergolong rentan terhadap bencana banjir, tanah longsor dan gempa bumi.

Koordinator program pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat (PRBM) yayasan Jambata, Nurfatan Achmad mengatakan, berdasarkan hasil penelitian awal (assessments) yang dilakukan yayasan Jambata tahun 2008 lalu, dari 10 kabupaten di wilayah Sulawesi Tengah, kabupaten Donggala dan Sigi menempati rangking teratas dalam hal kerawanan bencana.

Kondisi inilah yang melatarbelakangi yayasan Jambata menggelar serangkaian program pengurangan risiko bencana di kabupaten Donggala dan Sigi. Rangkaian program ini terdiri dari program pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat dan pengurangan risiko bencana berbasis sekolah.

Untuk di wilayah Kabupaten Sigi, beberapa desa yang menjadi fokus pelaksanaan program diantaranya, desa Omu, Pakuli dan Tuva di kecamatan Gumbasa, desa Salua, Bolapapu dan Matauve di kecamatan Kulawi. Sedangkan di kecamatan Dolo, program ini dilaksanakan di desa Sidondo II.

Nurfatan menjelaskan, program pengurangan risiko bencana ini dilakukan dalam tiga level, yakni di level Pemda, dilaksanakan serangkaian kegiatan penguatan kapasitas bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). “Di level ini kami lebih focus pada advokasi penguatan kapasitas manajemen pencegahan dan penanggulangan bencana,’ kata Nurfatan.

Sedangkan di level masyarakat, selain menggelar kegiatan kegiatan pelatihan pencegahan dan penanggulangan bencana, juga dilakukan kegiatan pendampingan guna mendorong berfungsinya rumusan strategi dalam upaya pengurangan risiko bencana.

Untuk mendorong fungsi dan peran penting masyarakat, kata Nurfatan, yayasan Jambata menfasilitasi terbentuknya komunitas peduli bencana (KPB) di sejumlah desa di wilayah kabupaten Sigi dan Donggala. “Kelompok kelompok masyarakat inilah yang kemudian merumuskan dan akan melaksanakan aksi masyarakat terkait upaya pencegahan dan penanggulangan bencana,” katanya.

Sementara untuk di level sekolah, dilakukan kegiatan kegiatan penguatan kapasitas terhadap para guru dan anak anak sekolah dasar (SD). Dalam rangkaian program ini dilakukan kegiatan pelatihan peringatan dini bencana bagi para siswa SD dan workshop tentang pengurangan risiko bencana bagi sekolah bagi para guru.

Andi Faisal Alwi, penanggung jawab kegiatan PRB berbasis sekolah mengatakan rangkaian kegiatan pelatihan dan workshop tersebut sudah digelar sejak Februari lalu di Sembilan SD di tiga kecamatan dalam wilayah kabupaten Sigi.
“Anak anak merupakan kelompok paling rentan terhadap resiko bencana, makanya program ini juga focus untuk mengurangi kerentanan dan risiko tersebut,” kata Andi Faisal Alwi. OTR

SUMBER : Mercusuar, Jumat 11 September 2009.

Selasa, Juni 23, 2009

Matinya Pasar Tradisional?


Oleh : Ishaq Salim

Banyak orang, bukan hanya ahli ekonomi tetapi bahkan pedagang sendiri berpikir bahwa pasar ‘tradisional’ atau pasar lokal harus ditata sedemikian rupa agar mampu bersaing dengan pasar moderen yang sedang menjamur. Lalu, para pengambil kebijakan pun berpikir senada dan dimulailah apa yang disebut revitalisasi atau modernisasi pasar ‘tradisional’ dilakukan khususnya di era tahun 1990an dengan mengundang developer. Di Makassar, 2 pasar lokal utama mengalaminya di era itu, di antaranya pasar Sentral yang telah berganti nama Makassar Mall dan pasar induk Terong yang kini ‘malu-malu’ berganti nama Mal Terong. 2 pasar ini, bila ditinjau berdasarkan bangunan memang terkesan ‘moderen’, berlantai keramik, bertingkat lebih dari 2 lantai, dengan eskalator dan lift, namun sangat disayangkan bangunan itu tidak mampu memenuhi kewajiban dasarnya, menjadi tempat terjadinya transaksi jual beli. Di pasar Sentral, pedagang sektor informal memilih memenuhi badan jalan di sekitarnya, demikian pula pasar Terong, yang memenuhi beberapa jalan dan puluhan lorong di sekitarnya.

Pilihan pedagang untuk memilih berdagang di luar gedung tersebut, bukan semata-mata karena pedagang ini keras kepala dan tidak mau mengikuti perkembangan jaman dan oleh karena itu harus dikerasi dengan alat kekerasan negara yang bernama polisi dan satpol pemerintah. Ada banyak faktor mengapa upaya revitalisasi ini secara total mengalami kegagalan. Diantara faktor itu adalah internal dan eksternal.



Faktor Internal
Sejak awal, konstruksi gedung yang mentereng jelas berusaha mengubah kultur berdagang dan kultur berbelanja di pasar lokal yang sudah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun. Setidaknya untuk pasar Terong sudah di mulai akhir tahun 1950an dan pasar Sentral tahun 1960an. Jenis pedagang yang berjualan di pasar ‘tradisional’ sangat beragam dengan modal dan cara berdagang yang juga beragam. Di sana ada pamejang dengan skala dagangan mikro dan kecil, juga palapara yang sekedar menggunakan tikar sebagai alas untuk berjualan segenggam-dua genggam lombok, cabe, dan sayur mayur. Di sana ada pagandeng baik dengan sepeda maupun motor dari berbagai pelosok Takalar maupun Gowa. Ada becak yang harus keluar masuk untuk mengangkut penumpang, khususnya barang dagangan pedagang dari jalan raya ke dalam area pasar dan banyak lagi aktifitas lainnya.

Di luar aktifitas pasar, pedagang juga menikmati suasana kekeluargaan yang tiada tara yang tidak dimiliki oleh gedung-gedung pasar mentereng hasil revitalisasi pasar ‘tradisional’ karena umumnya pedagang tinggal di sekitar pasar. Mengapa banyak pedagang tinggal di sekitar pasar, karena secara historis pasar-pasar lokal di Makassar memang tumbuh karena kebutuhan komunitas dan bukan sama sekali bentukan pemerintah. Orang-orang di kampung Maccini Gusung dan kampung Baraya misalnya, menjadikan pasar Terong sebagai bagian wilayah pergaulan mereka karena kisaran 40-50% penduduknya adalah pedagang di sana atau setidaknya bekerja dengan menyediakan jasa di pasar.

Setelah revitalisasi banyak pedagang yang tidak mampu bertahan dengan model gedung yang tidak familiar dengan mereka. Sekedar contoh, lokasi berjualan bagi pedagang basah (ikan, daging, ayam potong) di tempatkan di area basement yang berada di bawah permukaan tanah dengan saluran drainasi yang sangat sempit berkisar 10 cm. Ruang yang pengap untuk barang dagangan yang berbau yang seharusnya membutuhkan udara segar dan lapang tidak tersedia. Konon, menurut cerita dari seorang pedagang daging, dulu pasar Sentral menyediakan bukan hanya area berdagang yang lapang, tapi juga lokasi antara penjual ikan daging di antarai oleh taman kecil sehingga selain berdagang bisa menghirup udara segar pandangan mata juga tidak jemu dan jenuh. Belum lagi bagi pedagang sayur mayur yang di tempatkan di lantai 2 atau 3, yang secara teknis amat tidak efisien.

Banyak pedagang masih mencintai model pasar lama yang sangat simpel dan memudahkan banyak orang (sekali lagi banyak orang) untuk dapat mengambil peran di sana. Sekali pasar ini di revitalisasi dengan menyediakan aneka lods yang seragam dan harga yang sama rata puluhan juta maka hilanglah kemampuan aneka pedagang mikro dan kecil yang tak mampu. Bangunan berlantai keramik dan adanya tangga walaupun hanya 3 buah anak tangga akan menghilangkan mata pencaharian daeng becak, pagandeng, dan penyedia jasa sampah non-pemerintah di sana dan banyak lagi.



Faktor Eksternal
“Pedagang pasar ‘tradisional’ harus tumbuh mengikuti logika ekonomi pertumbuhan.” demikian ahli ekonomi kampus berpikir dan pendapatnya dikutip oleh para pengambil kebijakan. “Pedagang-pedagang itu harus mampu bersaing dengan pedagang pasar moderen.” Demikian pemikiran yang lain. Pada akhirnya, pendapatnya menjadi “Pasar ‘tradisional’ harus mampu bersaing di tengah gempuran Pasar Moderen.” Inilah logika-logika ekonomi yang menyesatkan sehingga terjadi carut marut tata kelola ekonomi sektor informal di pasar lokal.

Maraknya pasar moderen adalah suatu keniscayaan untuk sebuah kota yang terus berkembang. Namun, perkembangan itu seyogyanya tidak mendiskriminasikan yang lain. persoalan harga dan barang dagangan misalnya. Bila pasar moderen turut menjual aneka kebutuhan sembilan bahan pokok dengan harga jauh dari harga pasar lokal maka lambat laun konsumen akan lebih memilih pasar moderen. Ada beberapa faktor yang membuat harga di pasar moderen lebih murah dari pasar lokal, seperti akses pedagang ritel yang langsung kepada petani dengan berbagai cara. Pemodal memberi petani modal, bibit, dan paling tidak akses pemasaran dengan lebih mudah. Bila panen tiba, pemodal mengambil barang kelas satu tanpa cacat dan memberikan sisanya untuk dijual di pasar lokal dan di jalan-jalan.

Faktor lain adalah, karena pemodal ritel moderen adalah pemodal besar maka murahnya harga kebutuhan pokok merupakan strategi dagang untuk menarik minat konsumen untuk datang. Dengan aneka barang yang dijual oleh seorang pedagang saja, maka harga satu kebutuhan dengan aneka barang lain bisa bervariasi dan saling menutupi, sesuatu yang tidak dimiliki oleh pasar lokal.

Selain itu, perkulakan yang seyogyanya menjual barang secara grosir ternyata ditemukan praktek dimana konsumen dapat membeli secara eceran. Ini adalah sebuah pelanggaran persaingan usaha yang selalu luput dari pantauan negara.



Menuju Pengaturan Pasar Yang Adil
Sekarang ini, anggota DPRD kota Makassar sedang mempersiapkan kado perpisahan bagi pedagang yakni peraturan daerah tentang perlindungan, pemberdayaan pasar ‘tradisional’ dan penataan pasar moderen. Layaknya sebuah hadiah, maka hadiah itu sebaiknya dikemas dengan baik dan isinya dapat menyenangkan sipenerima. Dari pembacaan atas naskah akademik yang dipersiapkan dan muatan aturan yang disusun dalam draft ranperda oleh anggota dewan, penulis belum menemukan substansi keberpihakan kepada pedagang pasar lokal yang didominasi pedagang mikro dan kecil. Penulis, bersama lembaga AcSI dan serangkaian diskusi intens dengan ratusan pedagang mikro, kecil dan menengah, memiliki beberapa pemikiran yang penting untuk dituangkan agar pasar lokal tidak mati.

Pertama, proses revitalisasi pasar lokal harus mempertimbangkan beberapa hal yakni, area relokasi yang jelas dan baik untuk berdagang selama revitalisasi pasar lokal berlangsung; besaran harga sewa/pembelian kios/lods baru yang tidak memberatkan bagi pedagang kecil dan mikro; bangunan tak lebih dari dua tingkat atau sebisa mungkin hamparan yang tertata rapi dan memperhatikan drainase dan ruang udara bagi pedagang basah; tetap memberi akses bagi pagandeng dan daeng becak yang selama ini hidup dari kehidupan pasar lokal;

Kedua, persaingan usaha antara pasar lokal dan pasar moderen harus diatur sedemikian rupa oleh negara/pemerintah. Di sini seyogyanya kebijakan ekonomi berpihak pada pedagang mikro/kecil dan tidak melepaskan begitu saja mengikuti logika permintaan dan penawaran apa lagi harus bersaing dalam ketidakimbangan kekuatan. Pasar moderen sudah seharusnya dibatasi dalam menjual sembilan bahan pokok, kalaupun boleh hanya dapat dalam bentuk kemasan. Bahkan, bila pemerintah benar-benar mau berpihak untuk melindungi sebagaimana bunyi judul ranperda ini, maka pasar moderen seharusnya memenuhi barang kebutuhan pokoknya dari pasar lokal dan tidak boleh langsung kepada petani sebagaimana pedagang pengumpul pasar lokal selama ini lakukan.

Dengan demikian, bila hal ini benar-benar terjadi maka pasar lokal kita bisa tetap bertahan dan pedagang mikro-kecil tetap terserap dalam pasar mereka, pasar rakyat.

Pasar Terong, 22 Juni 2009

Selasa, Juni 16, 2009

Bencana, Dunia Pendidikan dan Rasa Aman


Periode belakangan ini, pengurangan resiko bencana telah menjadi issu yang mengelinding dan penting oleh berbagai pihak. Pemerintah, ormas dan partai politik, LSM/ Ornop dan Organisasi Masyarakat Sipil mengusung issu ini dalam strategi dan implementasi program. Boleh dikata, masalah pengurangan resiko bencana dimulai sejak diluncurkannya buku Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN PRB) pada 24 Januari 2007 oleh Bappenas dan Bakornas Penanggulangan Bencana.

Dokumen RAN PRB sebagai respon pemerintah Indonesia terhadap upaya pengurangan risiko bencana seperti dalam mandat Hyogo Framework for Action yang kemudian ditetapkannya UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Selanjutnya bermunculan peraturan peraturan lain sebagai turunannya serta terbentuknya sebuah Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Sesuai mandat Undang Undang 24/2007, Penanggulangan risiko bencana harus diintegrasikan ke dalam proses pembangunan, salah satu dari proses pengurangan resiko bencana juga diupayakan terintegrasi kedalam sektor pendidikan. Lewat dunia pendidikan ini, diharapkan masalah bencana dan pengurangan risikonya sedapat mungkin dikenalkan kepada anak anak sejak dini dan menciptakan rasa aman di tingkat sekolah.

Untuk komponen pengurangan risiko bencana di dunia pendidikan Sulawesi Tengah terutama tingkat Sekolah Dasar. Di wilayah kabupaten Donggala telah mulai dijalankan sejak Februari 2009 oleh yayasan Jambata bekerjasama dengan Oxfam GB dan European Commision Humanitarian Aid Office (ECHO). Pengintegrasian program pengurangan risko bencana ke dalam dunia pendidikan ditandai sejak berlangsungnya workshop pengurangan risko bencana berbasis sekolah di April 2009.

Workshop melibatkan guru guru dan kepala sekolah dari 14 sekolah yang dianggap berada di daerah rawan bencana. Berlangsung selama tiga hari, workshop ini juga telah melahirkan rekomendasi bersama tentang strategi dan implementasi pengurangan risiko bencana berbasis sekolah. Dalam proses kedepannya prinsip partisipasi seluruh komponen warga sekolah menjadi rekomendasi inti dari peserta.


Issu Utama Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Sekolah
Terungkap dalam perumusan kondisi Sekolah Dasar di kabupaten Donggala. Kapasitas warga sekolah di tingkat guru, siswa, dan komite sekolah tentang pengurangan resiko bencana sangatlah minim. Padahal di sisi kerentanan sekolah terhadap bencana cukup tinggi.

Diamati pula bahwa kondisi sekolah pada umumnya berada di wilayah rentan tapi tidak ditopang oleh kondisi fisik sekolah dari aspek sarana dan prasarana yang tahan dan kuat jika bencana datang.

Kembali ke soal rendahnya kapasitas warga sekolah. Minimnya pengetahuan dan pemahaman menjadi hal yang sangat berpengaruh, kondisi ini ditandai dengan kurangnya sumber sumber informasi dan pembelajaran yang memadai. Minimnya panduan, silabus dan materi pengajaran yang terdistribusi dan dapat di akses oleh warga sokolah menjadi hal yang menyulitkan guru dalam pengintegrasian PRB di antara sistem pendidikan dan kebencanaan.

Mengintegrasikan pendidikan bencana ke dunia pendidikan khususnya bagi siswa siswa SD memang dapat dilakukan melalui pendekatan pembelajaran bagi siswa sekolah. Misalnya disisipkanya materi kebencanaan pada mata pelajaran IPA, IPS, Geografi atau ke dalam Muatan Lokal. Namun perlu dipertimbangkan bahwa pendekatan metode pedagogis rentan pada posisi pembebanan siswa dari sisi mata pelajaran. Persoalan ini dapat dilihat dari beratnya beban siswa dengan kurikulum yang ada sekarang.

Di sisi lain, integrasi pengurangan risiko bencana berbasis sekolah harus mengacu pada karakteristik bencana di masing masing sekolah. Tergantung pada spesifikasi daerah dan lokasi geografis sekolah. Seperti hasil Pengkajian Risiko Bencana (disaster risk assement) yang dilakukan yayasan Jambata pada awal 2007 mengemukakan bahwa kabupaten Donggala memiliki keragaman jenis ancaman dan kerentanan.

Lanjut dari hasil kajian Jambata, menjelaskan bahwa keragaman dan tingginya risiko ini tidak dibarengi daya dukung kapasitas masayarakat dan pemerintah dalam menempatkan kondisi ideal penanggulangan risiko bencana. Hal itu, disebabkan karena tidak maksimalnya daya dukung sumberdaya manusia, ekonomi, lingkungan, infrastruktur dan tatanan social terhadap pengurangan risiko bencana.

Bila kemudian apa yang ada dalam hasil DRA dikaitkan pada PRB berbasis sekolah maka pilihan pengintegrasian pendidikan bencana tertuju pada muatan lokal yang ada di masing masing daerah. Tapi kembali ke soal tadi!, apakah tidak memberatkan siswa?

Diakui, beban kurikulum siswa memang sudah berat. Sehingga perlu dicari cara yang efektif untuk mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam dunia pendidikan dan masyarakat sekitar sekolah. Salah satu pilihan alternative adalah memasukkannya dalam program pembiasaan siswa dan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah sesuai dengan karakteristik sumberdaya sekolah.

Media dan Pendidikan Bencana
Dari pilihan alternatif pengintegrasian pendidikan bencana. Pengalaman ujicoba sosialisasi pendidikan bencana di dua Sekolah Dasar yang berbeda yaitu di SD Inpres Pakuli dan SDN Omu memberikan gambaran bahwa penggunaan media dan kegiatan kreatif bagi siswa dinilai cukup efektif dalam proses penyadartahuan bencana di kalangan warga sekolah dan masyarakat sekitar sekolah.

Uji coba sosialisasi PRB pada awal Mei 2009 itu, juga menghasilkan startegi baru yang efektif dan efesien. Melalui penggunaan media seperti film pendidikan bencana misalnya. Penayangan film cukup memacu motivasi dan kreativitas siswa untuk mempelajari bencana dan pengurangan risikonya. Selain film, juga digunakan media lain seperti penggunaan komik dinding, poster anak, lukisan anak, mural, lagu lagu berlirik siaga bencana dan permainan kreatif anak yang bermuatan pendidikan bencana.

Di bagian yang sama, masukan dari orang tua siswa dan guru di sekolah dalam diskusi film cukup memberikan masukan dan pertimbangan. Mereka para orang tua yang mendapingi anak anak mereka menyaksikan film bencana dinilai dapat menjadi alternatif tontonan bagi anak yang lebih bersifat mendidik dan membangun karekter positif dan daya pikir anak. Ungkapan ini merupakan wujud kegelisahan orang tua terhadap ramainya tanyangan media publik seperti sinetron atau realitiy show yang tidak mendidik anak dan masyarakat secara umum.

Selain penggunaan media dalam proses sosialisasi dan kampanye di sekolah, kegiatan lain yang akan dilakukan adalah melakukan latihan dan simulasi bersama warga sekolah, pembentukan tim peduli bencana di sekolah seperti tim siaga bencana cilik dan upaya upaya pelibatan guru dan masyarakat dalam mendorong kebijakan tanggap bencana di tingkat pemerintah, khususnya dalam proses penyusunan rencana pembangunan desa berprespektif pengurangan risiko bencana.[afa]